: Agus
R. Subagyo dan Pak Marhaen (Sang Petani)
Sejengkal demi sejengkal langkah kaki.
Melaju menyusuri setapak berkerikil.
Kala fajar masih mengintip malu dari timur.
Kala para manusia masih lelap mendengkur.
Arit tergenggam di tangan kanan dan cangkul
terganggul mentereng di pundak kiri.
Caping menggunung kepala senyum pun terukir.
Menyambut padi-padi yang dibelai hembus angin.
Di hamparan luas sawahmu, di bumi Pertiwi.
Ketulusanmu sebening mata air.
Mengalir menghapus dahaga tanaman padi.
Hingga saat nanti tiba menguning kau panen.
Meski hasilnya hanya cukup untuk makan, merokok,
ngopi dan menanam lagi.
Padahal semua alat produksi adalah kepunyaanmu.
Lahan kau tak sewa, cangkul dan arit engkau punya.
Ani-ani tersedia, pembajak pun juga ada.
Namun kenapa kau tak juga kaya?
Karena harga pupuk dan pestisida yang melangitkah?
Sedang panenmu harganya melata.
Cukong-cukong tangannya genit.
Membelai pasar, toko dan gudang tak kentara.
Sungguh ironi.
Memilukan.
Seharusnya kau adalah pahlawan.
Berbiji-biji padi kau hasilkan.
Penuhi kebutuhan pangan seisi negeri.
Semua berasal dari sawahmu.
Seharusnya kau kaya.
Tak peduli musim semua manusia membutuhkan
panenmu.
Negara membutuhkan sosokmu.
Gudang-gudang logistik hampa tanpa kehadiran kerja
kerasmu.
Pasar-pasar membutuhkan panenmu mengisi
lapak-lapaknya.
Kau tetap tak kunjung kaya.
Karena kekayaanmu ada dalam jiwa.
Tak terbaca.
Tuan hidup tak layak di negeri ini.
Tapi tetap tabah menjalani.
Kau menanam dan menanam hari ini, esok dan selamanya.
Ku ingin sepertimu menanam kata, ini untukmu.
Tegar P S Widodo
(13.52 WIB, Pankrama
23-12-2015)
No comments:
Post a Comment