PEREMPUAN HARUS MENYAPU RUMAH?
“Ahh.. ibuk, mas kan juga bisa kalo menyapu-nyapu. Aku baru selesai cuci piring banyak banget buk. Capek” Jawab Liana penuh keluh kesah ketika ia dititah ibunya untuk menyapu sore itu.
“Heee.. kamu itu disuruh ibuk kok malah kayak gitu sih, Na? Itu kan sudah jadi pekerjaannya perempuan. Kok kamu malah nyuruh aku” Teriak kesal kakaknya yang tengah lagi asik menonton TV .
Liana merasa sangat jengkel kepada ibunya ataupun kakaknya yang menyuruhnya menyapu sore itu. Biasanya pekerjaan itu memang dia yang melakukan. Tapi kali ini dia begitu penat setelah melakukan tugas-tugas kampus yang semakin menumpuk untuk minggu depan. Sedari pagi tadi ia sudah berkutik dengan laptopnya. Ia mengerti bahwa ibunya juga penat melakukan pekerjaan rumah dan membuatkan pesanan makanan untuk pelanggan. Serasa bekerja dua kali. Ibunya yang harus membantu banting tulang mencari nafkah masih juga ditambah dengan bersih-bersih rumah yang tak berkesudahan. Tiap sore menjelang malam ketika semburat jingga perlahan meninggalkan mega, terlihat sekali letih dari raut mukanya.
Ibu Lianapun perlahan melepaskan letihnya di sofa depan televisi yang menayangkan panorama alam dengan suara adzan menggema. Beliau berbaring miring untuk menyaksikan acara itu. Terlihat beberapa helai rambutnya yang mulai memutih. Kerutan di matanya yang mulai rapi dan matanya tampak layu menonton acara televisi. Setiap menjelang malam dan setiap hari dilaluinya seperti itu.
Liana pun menyaksikan acara televisi itu bersama ibunya. Namun ia duduk di bawah sofa beralas tikar daun pandan. Tidak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya suara adzan dari televisi saja yang memenuhi ruangan itu. Serta hawa sore yang semilir hilir mudik dari ruangan itu melalui cendela yang belum di tutup.
“Na, cendelanya itu tutup dulu. Sudah mau maghrib” Seru ibunya sambil ekspresi wajah yang menunjuk ke cendela tanpa mengubah posisi berbaringnya.
“Hm?” Liana tersentak dari keseriusannya menyimak acara televisi. Lalu ia bangkit dan melakukan titah dari ibunya.
Sebelum kembali duduk, ia memperhatikan ibunya sekilas namun jelas menancap dimatanya. Terlihat rasa menyesal dan nelangsa tergambar darinya ketika ia sudah kembali duduk. Ia merasakan waktu telah serakah, rakus, dan licik untuk mempermainkannya. Ia tidak menyadari bahwa permainan sang waktu telah mengubah ibunya menjadi semakin lemah termakan olehnya. Ia merasa waktu telah memperdayanya sehingga banyak sekali waktu yang telah tersia-siakan selama ini untuk bergembira ria sebagai anak muda tanpa memikirkan orang tua.
Penyesalan datang membelit tubuh Liana. Beserta panas yang meluluh lantakan dunianya. Ia merasa terhimpit dan tak bisa melarikan diri. Terasa dunia pergi meninggalkan Liana sendiri di depan televisi. Ingatan akan peristiwa tadi sore mencuat semakin menghakiminya sebagai anak tak berguna yang tidak bisa menjaga lisan dihadapan ibunya. Dadanya mulai terasa sesak karena ingatannya yang karam dalam penyesalan. Ia ingin teriak menangis namun hanya cucuran air mata yang mulai terjun di atas roknya.
“Loh.. Kok malah mapan maneh. Wes maghrib nduk, cepat sembahyang” Ujar ibunya yang memecah lamunan Liana. Ia terkesiap mencoba menenangkan dirinya dan langsung pergi ke kamar mandi mengambil wudhu tanpa menjawab titah ibunya karena takut ketahuan kalau ia menangis.
“Buk, kopi buat bapak mana?” Terdengar suara bapak Liana yang baru kembali dari langgar.
“Loh.. iya pak. Ibuk lupa belum tak buatin” Jawab ibu Liana sambil beranjak dari sofa dengan sedikit menahan letihnya. Ketika Liana keluar dari kamar, ibunya terlihat telah berjalan malas membelakanginya ke arah dapur.
“Pak nanti aku ngopi sama teman-teman di warung bu Mus. Musyawarah kegiatan karang taruna” Kata Liana ke bapaknya untuk bermaksud meminta izin.
“Kemarin ngopi sekarang mau ngopi lagi” Jawab beliau sambil meletakkan pecinya diatas televisi tabung.
“Mau gimana lagi pak? Musyawarahnya belum selesai” Timpalnya mencoba sopan.
“Kamu itu perempuan. Jangan pulang malam-malam. Apalagi kalo acara ngopi kayak gitu. Nggak enak sama tetangga kiri kanan” bapak menegaskan.
“Pak udah tiga hari ini si Hendy pulang jam satu terus” Ujar ibunya dari kejauhan sambil membawa nampan yang ditunggangi oleh segelas kopi hitam pekat.
“Yo ben to buk. Namanya juga anak laki-laki” Timpal bapaknya.
“Tapi nggak tau loh kemana mainnya dia kok sampek pulang larut malam terus”.
“Mainnya dia itu ke kampung sebelah buk sama teman-temannya. Itu loh nongkrong di rumahnya Karan. Yo biarin aja buk. Dia juga sudah dewasa mungkin ingin melepas capek setelah bekerja” Liana mendengarkan sambil duduk santai di depan televisi.
“Na, gimana kegiatan karang taruna? Nanti ikut pengajian loh” Kata ibunya.
“Nggak tau buk. Nanti rapat lagi”
“Kamu itu kemarin rapat sekarang rapat besok rapat lagi” Ujar bapaknya sedikit tidak setuju dengan kegiatan Liana.
“Ya biar pak. Orang itu kegiatan bermanfaat kok”
“Iya buk tapi dia itu anak perempuan. masak pulang malam-malam terus. Apa kata tetangga”
Perdebatan kecil diantara kedua orang tuanya tidak digubris sama sekali oleh Liana. Ia berpikir bahwa itu akan membuat semakin keruh saja permasalahan. Pergi dari tempat itu dan beranjak ke kamar adalah jalan keluar yang cerdas. Sebenarnya ingin sekali ia mengambil sepedanya dan melakukan suatu perjalanan kecil dibawah gemitang, namun gulita telah jauh mendekap. Tentu saja izin orangtuanya pun seolah menjadi rintangan baginya.
Berbeda lagi kalau seadainya dia terlahir sebagai Hendy kakak laki-lakinya, tentulah ia masih bebas bergembira ria bersama kawan meski sampai larut malam. Mempunyai banyak waktu untuk bertukar pikiran di warung kopi, belajar bermusik dengan teman-temannya, tidak harus menghabiskan waktu sore untuk memasak atau menyapu cukup menonton televisi, tertawa lepas tanpa larangan, “CEWEK!!! KETAWANYA DIJAGA” dan bla bla bla.
Dalam ruangan yang tak terlalu luas itu ia hanya berhayal akan kebebasannya. Mungkin raganya terkurung namun akalnya tetap melambung ke manapun ia suka. Seolah ia ingin membolak-balikan cerita yang telah lama dikenalnya. Seperti cerita sang putri baik hati, ramah, lembut, bersanding dengan pangeran yang gagah, berani, dan lihai dalam memainkan pedang.
“Apa yang akan terjadi jika seandainya sang Putri yang lemah lembut tersebut berkuda dan menyelamatkan pangeran yang tengah ketakutan diserang oleh musuh? Dan pengeran itu bersembunyi di balik tubuh sang Putri” Pikirnya.
“Assalammualaikum” Terdengar suara dari depan rumah. Suara itu terdengar tenang dan penuh karisma.
“Walaikumussalam” Jawab Ibu Liana
“Liana ada bu? Saya, Liana, dan teman-teman malam ini ada acara musyawarah” Tuturnya sopan
“Oh iya nduk. Sebentar ya. Saya panggilkan Liana di kamarnya”
Liana mengenal suara itu. Sejak ia mendengar salam yang terucap dari lisannya, ia langsung mencari kerudungnya untuk bersiap. Suara itu adalah suara mbak Rena. Seorang pemudi yang tampak anggun dalam penampilannya, berwibawa dalam bertutur kata, cerdas dalam pemikirannya dan selalu tampak tenang dalam semua keadaan. Tentu hal tersebut tidak didapatkannya secara instan.
Sebelum ibunya menghampiri dan membuka kamar, Liana sudah siap di depan cerminnya yang menempel di dinding dan bergegas untuk menghampiri Mbak Rena. Ia menggunakan kerudung pashmina berwarna hitam bercorak bunga-bunga di pinggirannya yang di match-kan dengan celana hitamnya dan tunik yang berwarna peach. Ibunya yang melihat Liana berpenampilan seperti itu sedikit tertegun.
“Tumben kamu cantik?” Goda ibunya. Wajah Liana menggambarkan rasa sinis pada pertanyaan ibunya.
“Aku pamit dulu buk” Jawab Liana sambil menyambar tangan ibunya.
“Anak sendiri di bilangin jelek” Desisnya sambil berlalu
“Eh.. ibu nggak bilang gitu ya” Sahut ibunya sambil tersenyum lebar. Liana kira beliau tak mendengar.
“Ayo berangkat mbak Ren”
Mereka berangkat dengan berkendara pada kedua kaki mereka. Setapak demi setapak melangkah. Malam ini kelam sedikit tersisihkan dengan semburat cahaya temaram dari sang rembulan. Cerah menerangi perjalanan mereka. Suasana belum sepi. Masih terlihat orang berlalu lalang kembali pulang seusai sholat berjamaah. Terlihat beberapa bocah berlarian dengan teman sebayanya dan berbicara sambil berteriak satu sama lain. Ibu-ibu pulang bersamaan dengan yang lainnya. Mereka berjalan dan mengobrol santai.
“ujang.. ati-ati, nak. Wes bengi. Ojo playon. Ono wewe loh ndek kono” teriak salah satu ibu-ibu dari jalan itu.
“Rena itu umurnya berapa sih buk? Kok belum juga nikah” Dari seberang jalan dibelakang mereka terdengar percakapan samar-samar dari salah satu ibu-ibu
“Nggak ngerti bu. kayaknya seumuran sama anak pertamaku Siti yang udah punya dua anak sekarang”
“Denger-denger dia itu terlalu pilih-pilih buk nyari calon suami”
“Kalo kayak gitu ya siap-siap aja jadi kayak mbah Sum yang sampek sekarang belum juga kaw...” suara percakapan itu terputus tak terdengar oleh Liana dan Rena karena sapaku pada mereka.
***
MBAK RENA
“Na whoyy... tunggu. Aku bareng” Teriakku sambil berlari kecil yang pada saat itu berada di pelataran rumah. Liana dan mbak Rena spontan menoleh ke arahku
“Eh.. mbak Rena” Sapaku ceria.
“Hee.. Kamu itu teriak-teriak mulu aja kerjaannya” Sahut Liana dan ku cuma menyambutnya dengan senyum tanpa rasa bersalah.
“Ayo teman-teman lain kayaknya sudah pada ngumpul” Tutur mbak Rena.
Ibu-ibu yang mendengar sapaku kepada Liana langsung menoleh ke arahku dan mbak Rena. Mereka seolah tertangkap basah akan percakapan mereka yang membicarakan mbak Rena dan langsung mempercepat langkah mereka untuk pulang ke rumah. Mbak Rena pasti sudah mendengar pecakapan itu. Ia mulai terdiam. Sedari tadi mbak Rena memang diam namun diam yang sekarang berbeda dengan yang sebelumnya . Ia seolah menguatkan dirinya perihal obrolan ibu-ibu tadi.
“Mereka kira milih jodoh itu kayak milih terong untuk di sayur?” Gerutu Liana.
Kami melanjutkan perjalanan. Tidak banyak obrolan yang terjadi diantara kami. Aku dan Liana sedikit kikuk dengan mbak Rena. Wibawanya membuatku dan Liana merasa segan kepadanya. Inginku sepertinya tapi apalah daya diri ini yang begitu frontal dalam bersikap dan jauh dari kata anggun.
Terlihat dari beberapa meter warung Bu Mus sudah mulai ramai dengan kehadiran teman-teman dan ramai mereka berhamburan bersama sinar temaram dari lampu pinggir jalan yang sayup-sayup semakin terdengar menghampiri gendang telinga. Tak lama setelah kami sampai disana dan pesan beberapa cangkir kopi, acara dimulai.
“Asslammualaikum Wr. Wb”
“Selamat malam” begitulah salam pembuka dari Riko selaku ketua Karang Taruna di desa kami.
Suasana hikmat mulai merangkak naik ke tempat ini. Tampak wajah serius dan memperhatikan informasi-informasi yang dialirkan oleh saudara Riko. Suara gaduh sebelum acara dimulai tampak lari tunggang langgang seperti dibacakan mantra untuk mengusirnya. Hanya terdengar suara Riko yang memecah keheningang di warung bu Mus dan beberapa kali suara gelas yang beradu dengan lapik yang menghasilkan dentingan. Cukup lama kepala Karang Taruna itu menyampaikan sambutan dan tujuan dari pertemuan ini. Hingga tibalah waktu untuk menyusun kepanitian dalam memperingati hari Kebangkitan Nasional.
“Mbak Rena saja jadi ketuanya” Kataku tanpa basa basi
“Jangan dong. Ketua itu harusnya laki-laki” Sahut Ody
“Memangnya kenapa kalau perempuan? Mbak Rena bisa jadi ketua” Mbak Rena yang disampingku menarik-narik kaosku memberikan isyarat untuk tidak meneruskan argumenku.
“Kegiatan-kegiatan yang kemarin juga mbak Rena yang mengkonsep. Kalo alasanmu dia nggak boleh jadi ketua hanya karena dia perempuan itu nggak logis sama sekali” Lanjutku dan tidak mempedulikan isyarat dari mbak Rena.
“Dari pada perempuan, laki-laki itu yang lebih baik menjadi seoarang Ketua”
“Apa kontribusimu selama ini? Bukannya kamu cuma bisa mendirikan jambul gading diatas kepalamu itu?” Cetus Liana sembari memberikan isyarat pada jambul Ody.
“Kamu itu perempuan, Na. Jaga ucapanmu. Jangan teriak-teriak. Ody itu benar. Kalo perempuan yang jadi ketua dalam acara ini pasti amburadul nanti” Sahut Firman yang bersuara dari pojok warung bu Mus
“Mending kamu pakai lipstik aja deh, Fir kalo pola pikirmu kayak gitu. Selama pelaksanaan acara-acara kemarin kamu juga terlihat anggun dengan menjadi laki-laki penurut” Sahutku
“Kurang ajar kamu bicara sama orang yang lebih tua. Kamu itu perempuan. Sadar dong” Teriak Firman
“Kamu yang seharusnya sadar. Bisamu Cuma ngangguk-ngangguk aja pas disuruh ini itu sama bang Yitno tanpa berpikir. Kalo disuruh nyemplung sumur mungkin kamu juga bakalan lakuin”
“Iddihh.. nggak ada bedanya sama sapi” Sahut Liana
“Kurang ajar kamu, Sa. Mulutmu itu kayaknya minta ditonjok” Firman naik pitam.
“Nah.. model kayak gini nih sudah ketauan kalo nggak semua laki-laki itu bisa jadi ketua” Kataku nyinyir. Firmanpun semakin naik darah dan berjalan cepat menghampiriku. Akupun bersiap dengan melipat lengan bajuku ke atas tanpa gentar sedikitpun. Angin mendorong rambut gondrong Firman melawan langkahnya kedepan. Semakin dekat ia berjalan kearahku dan semakin terlihat geram diwajahnya karenaku. Akupun berjalan selangkah mendekatinya dan menantangnya. Ia sangat ingin sekali menonjokku terlihat dari kepalan tangannya.
“Opo kowe? Wani mbek aku haa?” Gertakku menengadah keatas karena pendeknya ukuran tubuhku ketika ia akan mendaratkan tonjokannya di mukaku. Tanpa gentar aku menatap matanya. Ia pun melotot tajam ke mataku.
“He he he ampun sa. Ampun” Katanya sambil menelungkupkan kedua tangannya di depan setelah mendengar gertakanku.
“Dasar gaya sok-sok an kamu”
“Aku ingin voting bang Riko dan salah satu kandidat ketuanya adalah mbak Rena” Sahut Liana
“Baiklah tenang, rek . Ok ok kita voting. Itu lebih adil” tuturnya berwibawa “Entah laki-laki ataupun perempuan yang menjadi ketua. Semuanya demi lancarnya agenda”
Meski setelah voting Mbak Rena mendapatkan suara terbanyak. Baku mulut tak dapat dihindarkan. Kubu Firman tetap tidak terima degan hasil yang ada. Jelas saja Mbak Rena yang menang dalam voting ini, dari sisi kinerja memang dia yang terbaik serta anggota perempuan dalam organisasi ini lebih banyak. Akhirnya dengan terpaksa, musyawarah ini dihentikan dan dilanjutkan malam selanjutnya.
“Aku nggak mau kerja kalo sampai yang memimpin adalah perempuan” Ancam Satuji lantang.
Suasana semakin tidak terkondisikan. Mbak Rena pulang bersama Liana dan aku masih tetap bertahan disana beradu mulut dengan teman-teman sekampung. Sungguh tidak masuk akal ketika Perempuan berprestasi seperti mbak Rena yang sekarang tengah menuntut studi S2 dikota tetangga dengan berbagai beasiswa yang didapatnya, ide-ide kreatif buatannya untuk kegiatan ini, dan ketenangannya dalam memecahkan masalah ditolak untuk menjadi seorang pemimpin hanya karena dia seorang perempuan. Mungkin kekuranganya cuma satu, ia belum menikah meski usianya hampir memasuki kepala tiga.
Sepanjang perjalanan Liana masih belum bisa melupakan akan yang terjadi di warung bu Mus. Rasa kesalnya seolah sudah memenuhi setiap sudut benaknya. Tanganya mengepal menonjok-nonjok telapak tangan satunya. Raut mukanya geram mengikuti pikirannya yang masih tertinggal di sana, tidak mau untuk diajak beranjak kembali.
“Sudahlah nduk” Tutur lembut mbak Rena sembari memegang pundak Liana.
“Kenapa sih mbak Perempuan itu nggak bisa bebas seperti laki-laki? Kadang aku merasa menyesal telah terlahir sebagai seorang Perempuan” Mbak Rena Cuma tersenyum mendengar celoteh Liana.
“Na, percuma kamu dan Salsa itu ngotot di depan teman kampung seperti tadi untuk jadiin aku sebagai Ketua” Tuturnya lembut
“Di rumah juga gitu mbak. Aku merasa nggak adil diperlakukan di rumah. Begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan kadang aku merasa bosan dengan semua pekerjaan itu. Soalya cuma itu-itu aja. Ini aja tadi hampir nggak diizinkan bapak buat hadir diacara musyawarah”
“Coba deh kamu baca beberapa buku tentang perempuan. Mumpung sekarang kamu semester satu. Nanti kamu bakalan mengerti maksudku. Jadi perempuan itu adalah sesuatu yang luar biasa Liana”
“Maksudnya mbak? Dikit aja ceritain” Pinta Liana merengek
“Kodrat laki-laki dan Perempuan itu memang beda. Seperti perempuan melahirkan, haid dsb dan laki-laki menghasilkan sperma semua itu tidak bisa saling ditukarkan. Kalo pekerjaan rumah, aku kira laki-laki bisa turut membantu, begitu juga ketika laki-laki mempunyai pekerjaan di kantor, itu bisa digantikan perempuan. laki-laki dan perempuan itu ibaratkan dua sayap burung merpati. Apabila dua-duanya sama kuat maka burung itu dapat terbang tinggi menuju puncak. Namun apabila patah salah satu maka tidak bisa terbang burung itu. Tutur pak Karno seperti itu” Liana mendengarkan dengan seksama apa yang dijelaskan oleh Mbak Rena yang penuh dengan suara karismatik.
“Menjadi perempuan tidak melulu mengerjakan pekerjaan rumah. Itu hanya pembagian kerja masyarakat kita yang turun temurun saja dari dulu. Sebenarnya itu juga pekerjaan laki-laki sebagai pencari nafkah untuk keluarga, Na. Sebagai perempuan kita kan mencari ridho suami. Hubungannya dengan tutur pak Karno itu perempuan juga harus berpendidikan dan punya skill yang tak kalah dengan laki-laki agar seimbang dalam menjalai kehidupan ini. Kalo laki-lakinya saja yang berpendidikan maka pikiranpun tidak sejalan yang akan mengganggu keharmonisan kehidupan. Perempuan berpendidikan dan mempunyai skill tidak untuk menyaingi laki-laki loh, Na. Kamu ngerti kan yang aku maksud?” Lanjut Mbak Rena
“Lahh.. Terus kenapa kok nggak boleh jadi pemimpin Mbak?”
“Kata siapa? Presiden kita Bu Mega itu kan perempuan. Ya memang lebih baik laki-laki yang menjadi pemimpin namun jika laki-laki yang ada itu lebih baik. Dalam ranah sosial, perempuan boleh menjadi pemimpin. Sifat maskulin yang disandangkan pada laki-laki itu bisa disandangkan kepada perempuan. begitupun sebaliknya, sifat feminin yang disandangkan kepada perempuan itu bisa disandangkan kepada laki-laki. Jadi ketegasan, berpikir logis, dan kuat yang hanya disandangkan kepada laki-laki saja sebenarnya adalah persepsi masyarakat semata. Perempuan juga bisa seperti itu apabila lingkungan mendukungnya dan terlatih”
“Namun ingat, Na. Perempuan tetaplah perempuan. Perempuan tidak hanya cantik tapi juga harus pintar dan berkepribadian bangsa agar generasi yang tercipta juga luar biasa serta bisa menempatkan dirinya dimana ia berada di ruang lingkup sosial dan menjadi seorang ibu untuk anaknya” Lanjut mbak Rena. Liana lambut laun melupakan kejadian di warung bu Mus dan melongo dengan penjelasannya.
“Coba bayangkan! Perempuan yang cenderung sensitif dengan perasaannya, peka terhadap situasi yang membuatnya memiliki perasaan kasih yang begitu besar lalu apabila ditambah dengan kecerdasannya dalam berpikir. Maka cukup maju generasi yang akan tercipta” Mbak Rena tiba-tiba berhenti ketika Liana semakin menyelami penjelasan dari Mbak Rena.
“Oh ya mbak, sampean tadi dengar nggak yang diomongkan ibu-ibu tadi?” Tanya Liana
“Oh itu.. biarkan saja, Na. Selama kita tau niat kita dan tujuan kita baik. tidak usah tengok kanan kiri yang membuat kita down. Tetap saja sopan pada mereka. Doain saja, pak Dika bulan depan pulang dari studi S3 nya di Turki” Tuturnya lembut dengan sesungging senyuman
“Loh, mbak Rena sama pak Dika rektor kampusku itu?” Liana sedikit terperanjat namun mbak Rena tetap tenang dan menjawab tanya Liana dengan anggukan saja.
“Kamu mau ikut aku pulang, Na?” Tanya Mbak Rena mengalihkan pembicaraan
“Itu rumahmu, Na” Mbak Rena menunjuk rumah Liana dengan ekspresi wajahnya.
“Oh iya udah sampai mbak. Hehehe” Liana menoleh ke rumahnya.
“Belajar yang rajin. Nggak usah takut berpendidikan tinggi sebagai seorang Perempuan” Tutur mbak Rena
Mereka berpisah di depan rumah Liana. Mbak Rena melanjutkan perjalan sendiri kerumahnya, rumah yang berjarak beberapa meter dari rumah Liana. Masih terlihat kibaran kerudung putihnya yang meliuk-liuk diterpa semilir angin yang lembut dibawah temaram rembulan yang ceria. Meski tidak ada bintang disampingnya.
“Mangkanya mbak Rena nggak acuh terhadap omongan masyarakat tentang dirinya. Dia memang hebat nggak takut dengan cercaan masyarakat. Hmmm.. aku juga nanti seperti mbak Rena deh sekolah setinggi-tingginya juga namun tetap lembut dan sopan” Gumam Liana sembari membayangkan ketika ia besar nanti dengan senyum-senyum yang menghiasi parasnya.
Karya : Elisa
No comments:
Post a Comment